Jumat, 04 Maret 2011

Dari Sabang Sampai Merauke Rakyat Indonesia Mati Kelaparan….


Nova Maulana (2 tahun) anak seorang buruh tani miskin di SragenDari Sabang Sampai Merauke Rakyat Indonesia Mati Kelaparan….

Mungkin begitulah lagu yang bisa kita nyanyikan sekarang. Saya coba google dengan kata kunci busung lapar untuk artikel 6 bulan terakhir, ternyata sungguh banyak artikel yang memuat berita rakyat Indonesia mati kelaparan dari Aceh, Riau, Tangerang, Makassar, NTT, hingga Papua.

Di Aceh 29 anak meninggal karena busung lapar sementara 1.336 lainnya kena busung lapar. Sebanyak 340.056 jiwa dari total 990 ribu penduduk Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur masuk dalam kategori keluarga miskin, yang berpotensi menderita gizi buruk.(Media Indonesia) Ada 5,1 juta balita bergizi buruk dengan 54 persen atau 2,6 juta jiwa terancam kematian seperti ditegaskan Dr. Yosep Hartadi (Lampung Post). Silahkan lihat berbagai artikel tentang kasus meninggalnya anak-anak Indonesia karena busung lapar di situs http://infoindonesia.wordpress.com.

Tentu saja harus dicari penyebab dan yang lebih penting solusi agar tidak ada lagi anak Indonesia yang meninggal karena kelaparan.

Pertama kemiskinan di Indonesia umumnya adalah kemiskinan struktural yang terjadi karena kebijakan pemerintah yang keliru seperti pemerintah gagal mengontrol harga kebutuhan pokok rakyat seperti pangan sehingga harga meroket dan tidak terbeli lagi oleh rakyat serta berbagai penggusuran terhadap pedagang pasar/kaki lima yang kerap diikuti dengan kebakaran yang menghanguskan modal dagangan mereka.

Sikap sebagian elit pemerintah/politikus yang menutup mata seperti menyatakan bahwa Indonesia sudah tidak masuk negara miskin lagi karena pendapatan per kapita sebesar US$ 2.000/tahun sangat menyesatkan. Dia tidak memperhatikan jurang antara yang kaya dan miskin di Indonesia. Seorang kaya bisa punya harta trilyunan rupiah seperti Menko Kesra Aburizal Bakrie yang kekayaannya mencapai Rp 1,3 trilyun. Tapi yang miskin penghasilannya bisa hanya Rp 5.000-10.000 per hari seperti keluarga Basse yang mati kelaparan. Jika dihitung pendapatan per kapita, maka keluarga dengan 2 anak tersebut pendapatannya hanya kurang dari US$ 73 per tahun per orang (1 US$=9.400 dan pendapatan keluarga Rp 7.500/hari). Sehari pendapatan per orang keluarga tersebut hanya US$ 0,2 per hari atau hanya Rp 1.875.

Sikap keliru lainnya adalah memandang enteng kasus kematian warga sebagai kasuistis. Sebagai contoh satu aktivis Partai Demokrat dalam satu acara di TV mengatakan bahwa yang mati kelaparan kan cuma 1 orang yang kemudian dibantah oleh presenter Dessy Anwar bahwa rakyat miskin di Indonesia ada 37 juta dengan dokumen statistik yang dia pegang.

Untuk mengatasi kemiskinan, sikap tidak peduli macam di atas harus dibuang dulu, baru kita bisa maju.

Pemerintah juga harus meralat standar angka kemiskinan 166.697 per bulan atau Rp 5.500 per hari juga sangat minim. Sebagai contoh, untuk sekali makan saja minimal perlu Rp 3.000. Jadi kalau 3 x makan, berarti butuh Rp 9.000. Ditambah minuman yang sehat (air masak) paling tidak Rp 500. Jadi hanya untuk makan minum perlu Rp 9.500 atau sekitar 1 dollar per hari. Itu baru untuk makan-minum. Belum untuk rumah, listrik, transport, pendidikan, sabun, dan sebagainya.

Jelas angka garis kemiskinan pemerintah sebesar Rp 5.500/hari terlalu rendah. Untuk binatang yang tak perlu rumah, sekolah, sabun mungkin cukup. Tapi untuk manusia jelas kurang. Bahkan ada yang bilang binatang saja punya kandang. Masak orang tidak punya rumah… Dengan garis kemiskinan yang rendah itulah maka jumlah orang miskin di Indonesia tidak banyak. Hanya sekitar 37 juta jiwa. Tapi jika memakai standar dunia, jumlahnya bisa membengkak hingga 126 juta jiwa. Tak heran jika pada saat penyaluran dana bantuan, banyak orang yang menurut versi pemerintah kaya ikut mengantri. Padahal mereka sebenarnya miskin menurut standar yang wajar.

Oleh karena itu Bank Dunia (World Bank) menyatakan bahwa garis kemiskian absolut (Extreme Poverty Line) adalah US$1/hari dan Moderate Poverty Line sebesar US$ 2/hari. Artinya satu keluarga dengan 2 orang anak dikatakan miskin jika penghasilannya kurang dari Rp 1,128.000/bulan.

Dengan standar itu ada 63 juta rakyat Indonesia yang berada dalam kemiskinan yang ekstrim dan 126 juta yang miskin moderate.

Dengan menyadari jumlah rakyat miskin yang benar, kita baru bisa membantu orang miskin. Dana APBN sebesar Rp 800 trilyun harusnya separuhnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat. Bukan untuk memperbesar gaji para pejabat, renovasi rumah anggota DPR, apalagi sekedar studi banding dari Mall ke Mall di luar negeri. Utamakan separuh dana APBN untuk rakyat.

Busung lapar/kemiskinan bertambah banyak karena harga barang meroket jauh melebihi pertambahan penghasilan. Taruhlah dulu separuh penduduk Indonesia hidup cukup. Penghasilan mereka sebulan Rp 500 ribu dan kebutuhan hidup Rp 500 ribu. Ini bisa bertahan. Tapi begitu harga pangan seperti beras, kedelai, minyak goreng meroket hingga 2 kali lipat lebih sehingga kebutuhan hidup jadi Rp 1 juta per bulan, maka rakyat Indonesia jadi kekurangan. Bahkan seandainya secara statistik penghasilan rakyat Indonesia naik jadi Rp 700 ribu per bulan, tapi tetap saja mereka bertambah miskin jika biaya kebutuhan hidup naik jadi Rp 1 juta per bulan atau lebih.

Agar harga pangan tetap terjangkau oleh rakyat Indonesia yang sebagian besar miskin, pemerintah perlu menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk produk pangan yang sangat diperlukan seperti beras, kedelai, minyak goreng, dan minyak tanah. Minimal untuk produk kelas 3 yang tidak akan dikonsumsi oleh orang kaya.

Untuk menjaga agar harga stabil, pemerintah bisa mengenakan Pajak Ekspor (PE) yang besarnya 4 kali lipat dari PPN dalam negeri. Misalnya jika harga minyak goreng menembus lebih dari Rp 8.000/liter, pemerintah bisa mengenakan PE sampai 40% sehingga penerimaan pajak pemerintah juga bertambah. Dengan PE minyak goreng 40% misalnya, pemerintah bisa dapat pajak sampai Rp 20 trilyun sementara eksportir minyak goreng tetap untung meski keuntungannya tidak besar. Misalnya dulu dengan harga minyak goreng Rp 6000/kg mereka hanya untung Rp 3.000/kg, maka dengan harga minyak Rp 15.000/kg maka pemerintah dapat pajak Rp 6.000/kg sementara eksportir minyak goreng tetap untung Rp 6.000/kg (jika hpp Rp 3.000/kg). Keuntungan eksportir itu justru naik 2 kali lipat dari Rp 3.000/kg jadi Rp 6.000/kg.

Agar pemerintah bisa menstabilkan harga dan tidak berulangkali dipermainkan oleh para pengusaha seperti pengusaha minyak goreng yang berulangkali menaikan harga, maka pemerintah harus menguasai 51% produk kebutuhan rakyat. Jika tidak, maka begitu pemerintah dan rakyat lengah, harga minyak goreng membubung lagi.

Tak ada salahnya pemerintah menganggarkan Rp 10 trilyun untuk mentransmigrasikan 100 ribu KK (400.000 jiwa) ke Sumatera di mana tiap KK mendapat tanah 2 hektar. Pemerintah harus menyediakan lahan seluas 200 ribu hektar (2.000 km2). Harusnya tidak sulit mengingat luas pulau Sumatera 473 ribu km2 lebih dan pemerintah telah memberikan jutaan hektar tanah kepada para konglomerat dan pengusaha asing. Minimal 1 dari 5 transmigran adalah petani sehingga mereka punya pengalaman untuk dibagikan ke transmigran lain. Sisanya adalah dari keluarga miskin yang rawan kena busung lapar.

Dengan cara itu, keluarga miskin bisa lebih sejahtera karena bisa bertani, Indonesia bisa hemat devisa karena tidak perlu impor pangan dari luar, dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan baik sebagai buruh tani atau pun buruh pabrik pupuk karena produksi mereka bertambah. Dari 200 ribu hektar paling tidak bisa didapat panen sekitar 2 juta ton makanan setiap tahun. Sebagian lahan bisa untuk tanaman padi, sebagian lain untuk kedelai dan juga pangan lain (selama tanahnya cocok) yang Indonesia masih kekurangan.

Minimal itulah yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Saya lihat SBY sebenarnya cukup baik dan masih punya kepedulian. Sayangnya visi dan misi harus lebih diperjelas. Dan para pembantunya seperti Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan terbukti gagal membuat harga barang stabil dan terjangkau oleh rakyat. Kasus meroketnya kenaikan harga minyak goreng misalnya, itu kan terjadi dari Mei 2007. Ternyata berbulan-bulan hingga sekarang (Maret 200 8) belum beres juga. Ini menunjukkan kekurang-pedulian atau ketidak-mapuan para menteri tersebut mengendalikan harga.

Banyaknya anak-anak yang kena busung lapar dan meninggal juga bukti ketidak-mampuan Menko Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie. Dia gagal membantu fakir miskin dari bahaya kelaparan. Bagaimana bisa membantu rakyat miskin dengan bantuan langsung jika tidak semua rakyat miskin terdata atau kriteria kemiskinan terlampau rendah. Sebagai contoh di Kalimantan Selatan yang luasnya relatif lebih kecil dibanding Kaltim, Kalteng, dan Papua ternyata separuh penduduk miskin belum terdata pemerintah.

Berikut adalah Berita-berita di media massa tentang busung lapar, tak terdatanya separuh rakyat miskin, dan kenaikan harga barang


Image

Tidak ada komentar:

Posting Komentar